sejarah
Karakteristik Paradigma Orde Baru
Sebagai lanjutan dari artikel sebelumnya dan berdasarkan
sumber dari beberapa buku di sini akan di jelaskan ringkas mengenai
karakteristik paradigm ordebaru. Setelah dominasi investasi asing di awal masa
rezim Suharto, kemunculan nasionalisme ekonomi sebagai agenda nasional di
mungkinkan oleh kenaikan mendadak anggaran Negara dari pendapatan minyak di
awal 1970-an. Kemunculan nasionalisme ini sebagai emblematik di tandai dengan
munculnya pertamina perusahaan minyak raksasa milik Negara, yang menjadi sumber
devisa asing yang sangat besar sekali, kala itu harga minyak di pasar
internasional terjadi lonjakan besar
tepatnya di tahun 1973 sampai kurun waktu 1974 sehingga membuat harga ekspor
gas dan minyak indonesia turut mengalami lonjakan sebesar 50.10% dari total
eksport indonesia.
Uang minyak tersebut memperkuat kewenangan dan kekuasaan Negara serta aparatnya sehubungan dengan akses yang besar khususnya dalam mengarahkan pada investasi besar dalam proyek-proyek industry hulu seperti petrokimia, besi dan baja, semen hingga pupuk. Semua investasi yang di arahkan nasionalisme ekonomi ini telah berakibat pada penciptaan sebuah kebijakan pengambilalihan tanah untuk proyek-proyek pembangunan.
Uang minyak tersebut memperkuat kewenangan dan kekuasaan Negara serta aparatnya sehubungan dengan akses yang besar khususnya dalam mengarahkan pada investasi besar dalam proyek-proyek industry hulu seperti petrokimia, besi dan baja, semen hingga pupuk. Semua investasi yang di arahkan nasionalisme ekonomi ini telah berakibat pada penciptaan sebuah kebijakan pengambilalihan tanah untuk proyek-proyek pembangunan.
Agenda nasionalisme ekonomi di motivasi untuk mengubah
ekonomi dari yang berfokus pada produksi kearah suatu ekonomi industri
kapitalis dengan menggenjot kapasitas produksi barang setengah jadi dan dengan
sector jasa yang canggih. Dengan uang minyak juga membuat agenda ekonomi
kerakyatan menjadi mungkin, termasuk mensubsidi bahan kebutuhan pokok,
infrastruktur pembangunan, kredit UKM dan kegiatan pertanian dan berbagai
bentuk program pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan bahan
pokok. Agenda tersebut di dorong juga oleh alas an politik, yang tidak hanya
untuk mencegah keresahan sosial dengan subsidi harga barang pokok namun juga
mengarah pada legitimasi kekuasaan untuk popularitas rejim.
Apa yang di sebut sebagai ‘’birokratisme predatoris’’ di
praktekkan oleh pejabat sipil dan militer yang mengambil keuntungan pribadi dan
politik melalui posisi mereka dalam kekuasaan pemerintahan, termasuk dalam
kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan. Posisi mereka di otoritas dan
kantor-kantor pemerintah merupakan sumber dari kekuasaan mereka, termasuk
penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan mereka untuk memberikan berbagai
konsesi atas tanah, hutan dan pertambangan terutama kepada
perusahaan-perusahaan domestik, begitu juga dengan mengizinkan pengadaan tanah
untuk proyek-proyek insfratruktur. Para peburu rente ini tentunya memberikan
kewenangan dan izin dan fasilitas pemerintah kepada kelompok-kelompok
pengusaha, seperti konsesi pertambangan,minyak,kehutanan dan perkebunan. Kredit
bank yang di subsidi dan kontrak penyediaan kontruksi pemerintah.
Hal ini tentu membuat para birokrat dengan semangat mempertahankan peranan Negara
dalam ekonomi, yang berpendapat bahwa intervensi Negara di perlukan untuk
mendorong ekonomi nasional selain itu kebijakan perdagangan dan industry
strategis mendukung tujuan-tujuan mereka untuk mensubsidi kredit dan
menyediakan bentuk-bentuk lain dari pembiayaan murah kepada sector prioritas.
Posting Komentar
0 Komentar