Kudeta atas persiden Sukarno yang menggelorakan revolusi indonesia menjadi awal kemunculan Suharto sebagai pemimpin tertinggi dari rezim otoliter pembangunan yang membekukan land reform’’seperti masuk dalam lemari es’’. Partai-partai politik di ciutkan menjadi tiga, yaitu partai persatuan pembangunan (PPP) untuk golongan islam, dan partai demokrasi indonesia (PDI) untuk golongan nasionalis, Kristen dan katolik dan golongan karya (Golkar) adalah partai penguasa yang anehnya tidak boleh kita menyebutnya sebagai partai politik. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kendalikan sepenuhnya. Semua partai dan organisasi masyarakat harus berasaskan tungal, yakni pancasila.

Dibuatlah struktur pemerintahan eksekutif di pemerintahan nasional yang terkendali sepenuhnya, demikian pula untuk pemerintahan daerah, dengan Undang Undang no. 5 tahun 1974, DPRD bukan di tempatkan sebagai parlemen, melainkan alat kelengkapan ‘’pemerintah daerah. Pengendalian menjadi lebih lengkap dengan penyeragaman desa dengan mengikuti model desa di jawa dengan pemberlakuan Undang-Undang pemerintah desa no.5 tahun 1979. Struktur militer territorial yang pararel dengan struktur administrasi pemerintahan dibuat dan di efektifkan dari tingkat provinsi sampai ke desa, untuk memastikannya setiap kecendrungan mempromosikan panangan ideologis ‘’sosialisme Indonesia’’. 
Kebijakan-kebijakan struktur sosial secara mendasar, dan memastikannya semua terkendali secara sental. Bagi mereka yang melawan pemberlakuan aparat Negara secara represif akan menghukum mereka, termasuk menggunakan kekerasan secara langsung.
Rezim militer otoliter ini mengembangkan kebijakan ekonomi nasional yang secara sadar mengganti seluruhnya apa yang telah di jalankan oleh pemerintahan Sukarno. Setelah Suharto naik di tampuk kekuasaan di tahun 1966, kebijakan ekonomi Indonesia di bentuk oleh empat paradigm besar yang saling bertanding satu sama lain, yaitu nasionalisme, populisme,birokratisme, predatoris dan liberalisme.