Bekas kewilayahan Yogyakarta dan Surakarta memiliki hokum agrarian yang berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya di indonesia karena status keduanya sebagai dua swapraja yang mempunyai kontrak khusus dengan Negara colonial. Hak-hak konversi ini merupakan sekumpulan hak untuk menggunakan tanah, buruh dan air yang di berikan oleh Sultan Yogyakarta dan Surakarta kepada perkebunan-perkebunan milik orang Eropa.



Untuk berbagai konsesi dengan jangka waktu limapuluh tahun ini, pihak perkebunan membayar uang sewa tahunan kepada sultan. Setelah di terbitkannya peraturan sewa tanah tahun 1884 dan 1906, pihak perkebunan bias mendaftarkan kesepakatan konsesi mereka kepada kantor pencatatan pemerintah dan kemudian menggunakan dokumen tersebut sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari Bank.
Setelah ploklamasi indonesia tahun 1945, sistem tanah feudal, yang berdasarkan pada prinsip bahwa sultan menguasai baik tanah dan rakyat yang hidup di wilayahnya, menjadi tidak dapat di terima, setelah adanya undang-undang baru no 5 tahun 1950 yang mengamadir undang undang sebelumnya.
Undang undang tersebut berbunyi bahwa semua hak-hak konversi, yang di tahun 1940 mencakup 42.544 hektar di hapuskan. Kemudian hak milik tanah yang bersangkutan di serahkan kepada petani lokal yang hidup di tanah tersebut.