Pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia mengambil alih semua tanah-tanah partikelir sampai seluas 1.150.000 hektar, yang sebelumnya dijual oleh pemerintah Hindia Belanda kepada para individu-individu pribadi dari Inggris, Belanda, Arab dan Cina pada masa tekanan financial yang besar yang terjadi sebelum abad ke sembilanbelas.
Tanah-tanah partikelir ini berbeda dengan tanah yang di miliki oleh pribadi lainnya, bukan karena ukurannya yang sangat luas namun juga hak-hak keistimewaannya yang memberikan pada tuan tanah tersebut hak untuk memerintah orang-orang yang hidup di dalam wilayah yang di kuasainya. Tanah-tanah partikelir adalah suatu hak atas tanah yang disertai kewenangan untuk membentuk system pemerintahan sendiri di dalam wilayah tanah yang sangat luas itu, karenanya ia di juluki dengan sebutan ‘’Negara dalam negara’’.

Selama abad Sembilan belas pemerintah Kolonial telah mencoba untuk mengatur tanah partikelir ini seperti pada tahun 1854 ketika gubernur jendral memutuskan untuk menhentikan pemberian hak-hak tanah partikelir yang kemudian di tahun 1911 pemerintah colonial mulai kembali membeli kembali tanah-tanah partikelir tersebut.
Antara tahun 1921 sampai 1931, sekitar 456.709 hektar dari tanah-tanah partikelir telah di beli kembali oleh pemerintah kolonial. Tahun 1950, pemerintah indonesia mengumunkan perkiraan jumlah tanah partikelir di hindia belanda (jawa) sebesar 598.829 hektar.