Suharto lengser pada bulan mei 1998 setelah berkuasa selama lebih dari tiga dekade karena beresonasi dengan tekanan-tekanan internasional yang begitu kuat dari IMF, serta perpecahan dikalangan tentara dan elit politik dan hal terpenting adalah Suharto telah kehilangan dukungan dari cabinet dan parlemennya. Suharto menyerahkan kekuasaan pada wakilnya yakni Habibie, yang kemudian memimpin satu pemerintahan transisi hingga November 1999.


Berbagai gerakan kelompok rakyat indonesia di Jawa memanfaatkan kesempatan politik dari periode transisi politik selama delapanbelas bulan yang berlanjut pada upaya melancarkan aksi-aksi pendudukan atas tanah-tanah yang sebelumnya berada di bawah kendali perkebunan-perkebunan milik pemerintah dan swasta, juga perhutani. Beberapa istilah baru seperti reclaiming gerakan petani, Land Reform. Pembaruan agrarian, reforma agraria, segera menjadi begitu popular dikalangan aktivis gerakan agrarian, mereka juga menggunakan periode transisi politik ini untuk mendirikan organisasi-organisasi petani lokal, yang dilanjutkan dengan pengembangan jaringan. Federasi-federasi dari berbagai organisasi petani lokal dan organisai non pemerintah (LSM). Menjadi sebuah koalisi, konsorsium perbaruan agraria (KPA), didirikan pada tahun 1995 pada era Suharto, mengembangkan studi-studi kritik atas agraria pada kebijakan-kebijakan agraria di masa ordebaru. Menerbitkan buku-buku dan paper-paper posisi dan melaksanakan pelatihan dan lokakarya untuk meningkatkan kesadaran dan memberikan suatu pandangan baru atas apa yang disebut dengan land reform.

Seorang pakar sekaligus pendiri KPA setelah mempelajari elit-elit politik di Negara-negara paska kolonial menerapkan reforma agraria yang di jalankan Negara pada akhirnya menghianati petani karena kepentingan politik mereka. KPA juga meluncurkan kampanye terkoordinasi dengan angota-anggota LSM nya dan banyak ilmuan terkait melancarkan kritik yang keras pada pemerintahan ordebaru atas kebijakan tanah yang hanya melahirkan kesenjangan dan konflik tanah. Kritik tersebut menjadi basis bagi KPA untuk mempromosikan kebutuhan akan kebijakan land reform adalah UUPA 1960. KPA memandang UU tersebut sebagai sebuah hokum nasional yang mengusung prinsip fungsi atas tanah dan mewujudkan terciptanya keadilan sosial melalui restrukturisasi penguasaan kepemilikan dan penggunaan tanah selalu dikalahkan oleh kepentingan nasional yang di pegang oleh pemerintah ordebaru. 

Rezim Suharto malah membuat perundang-undangan agraria dan sumberdaya alam yang baru, seperti UU 2/1967 mengenai penanaman modal asing yang bertentangan dari prinsip fungsi-fungsi sosial atas tanah dari UUPA 1960 yang dalam hal ini penanaman modal asing sama saja mengembalikan kebijakan seperti zaman kolonial. Menurut KPA posisi dominasi Negara dengan hal yang demikian itu hanya dimanfaatkan untuk kepentingan Rezim Suharto untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa menyediakan bagi rakyat miskin pedesaan, petani subsisten buruh dan penggarap, kaum miskin kota serta banyak yang terpinggirkan lainnya, sehingga rakyat indonesia seperti menjadi buruh di negri sendiri dengan dominasi investasi dan modal asing yang menguasai serta mengeksploitasi berbagai sumber daya alam dan sector-sektor strategis lainnya yang hanya di kuasai oleh rezim ordebaru saat itu. Sehingga KPA, LSM dan berbagai organisasi masa kala itu turut berjuang untuk mengembalikan semangat UUPA 1960, mempromosikan land reform dan penyempurnaan UUPA 1960.